Ideologi yang dianut oleh
suatu negara akan menjadi basis kebijakan bagi sistem pendidikannya. Kebijakan
tersebut khususnya terkait dengan dua hal pokok: tujuan pendidikan yang
diwujudkan dalam format kurikulum dan peran negara dalam pemenuhan kebutuhan
pendidikan masyarakatnya. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Khilafah Islam
adalah sistem yang secara keseluruhan terpancar dari ideologi atau akidah
Islam. Dalam Khilafah Islam, tujuan pendidikan, struktur kurikulum dan peran
negara di bidang pendidikian diformulasikan sesuai dengan tuntunan syariah
Islam.
Tujuan pendidikan yang
diselenggarakaan oleh Khilafah Islam adalah untuk membentuk kepribadian islami
(syakhshiyah islamiyah) pada diri setiap muslim serta membekali dirinya dengan
berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.
Pendidikan dalam Islam
merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan terhadap makan, minum, pakaian,
rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu
bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi dengan
fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 283-284).
Secara struktural, kurikulum
pendidikan dalam Khilafah Islam dijabarkan ke dalam tiga komponen materi pokok:
(1) pembentukan kepribadian Islam; (2) penguasaan tsaqafah Islam; (3) dan
penguasaan ilmu kehidupan (iptek, keahlian dan keterampilan). Kurikulum ini
diikuti dengan berbagai kebijakan negara yang ditujukan untuk mencapai tujuan
yang telah digariskan. Salah satu kebijakan penting dalam hal ini adalah
terkait biaya pendidikan yang murah bahkan gratis. Dalam Islam, negara wajib
menyediakan pendidikan murah atau bebas biaya kepada warga negaranya, baik
Muslim maupun non-Muslim, agar mereka bisa menjalankan kewajibannya atau
memenuhi kebutuhan primer mereka, yaitu pendidikan.
Syariah Islam dalam masalah
pendidikan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari syariah Islam secara
keseluruhan, khususnya dalam masalah pengelolaan sumberdaya alam. Dalam
pandangan syariah, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas
dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak merupakan milik umum atau
rakyat. Khalifah bertugas untuk mengkoordinasi pengeloaan sumberdaya alam ini dan
mendistribusikannya kepada rakyat untuk pembiayaan pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan sebagainya.
SEJARAH EMAS PENDIDIKAN ISLAM
Kejayaan pendidikan Islam
pada masa Khilafah Islam telah ditorehkan dengan tinta emas dalam sejarah.
Sejarahwan Barat, Jacques C. Reister, mengakui secara obyektif bahwa selama
lima ratus tahun Islam telah menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu
pengetahuan dan peradabannya yang tinggi. Menurut Montgomery Watt dalam
bukunya, The Influence of Islam on Medieval Europe (1994), peradaban Eropa
tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban
Islam yang menjadi motornya, kondisi Barat tidak akan ada artinya.
Kejayaan pendidikan pada masa
keemasan Khilafah Islam dapat digambarkan sebagai berikut.
Pertama: penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan yang bermutu oleh Khilafah hingga memungkinkan ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat. Negara memberikan jaminan pendidikan
secara gratis bagi seluruh warganya. Negara juga memberikan kesempatan seluas-luasnya
bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi. Semua
fasilitas sarana dan prasarana disediakan oleh negara. Pada masa lalu ada
Madrasah al-Muntashiriah, misalnya, yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir
Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa
emas seharga satu dinar (4,25 gram emas) perbulan. Kehidupan keseharian mereka
juga dijamin sepenuhnya oleh negara. Ada pula Madrasah an-Nuriah di Damaskus
yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di
sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf
pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah
dan diskusi.
Khilafah Islam membangun
banyak perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat melimpah yang menunjukkan
tingginya peradaban Islam saat itu. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo
mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli di
Syam, yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3
juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Jumlah
koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman
itu. Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad
setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut
memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku saja.
Pada masa Kekhilafahan Islam
yang cukup panjang, khususnya masa Kekhalifahan Abbasiyah,
perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah
Kekhilafahan, antara lain di Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah
Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan sebagainya. Bahkan suatu hal yang lazim
saat itu, di setiap masjid pasti terdapat perpustakaan yang terbuka untuk umum.
Karena itu, menurut Bloom dan
Blair, rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di Dunia
Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa (Jonathan
Bloom dan Sheila Blair, Islam : A Thousand Years of Faith and Power, Yale
University Press, London, 2002).
Kedua: kurikulum pendidikan
dan peran negara Khilafah yang sangat baik dalam penyediaan pendidikan telah
melahirkan para cendekiawan Muslim terdepan di dunia. Karya monumental mereka
di bidang agama, filsafat, sains dan teknologi tidak hanya diakui secara
internasional; namun juga menjadi dasar pengembangan ilmu dan pengetahuan
hingga saat ini. Di antaranya adalah Imam Syafii yang menurut al-Marwadi,
karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain.
Kejayaan pendidikan pada masa
Khilafah tidak hanya menghasilkan cendekiawan di bidang agama namun juga
cendekiawan di bidang sains. Di antaranya adalah Ibnu Sina yang dikenal di
kalangan ilmuwan Barat sebagai Avicenna. Karyanya yang sangat terkenal, Al-Qanun
fi ath-Thibb, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Canon of Medicine,
merupakan rujukan di bidang kedokteran dunia selama berabad-abad.
Kemudian al-Biruni, yang oleh
saintis Barat, George Sarton (Introduction to the History of Science, 1927),
dikategorikan sebagai ilmuwan terhebat sepanjang zaman. John J O’Connor dan
Edmund F Robertson dalam bukunya,History of Mathematics, menyebutkan bahwa
al-Biruni telah berkonstribusi penting dalam geodesi dan geografi karena dialah
yang pertama kali memperkenalkan teknik mengukur jarak di bumi menggunakan
metode triangulasi.
Teori relativitas merupakan
revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Menurut catatan sejarah, 1000 tahun
sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, seorang ilmuwan Muslim pada abad
ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas tersebut, yaitu al-Kindi.
Ilmuwan Muslim lainnya adalah
al-Khawarizmi yang terkenal dengan kitab monumentalnya, Al-Maqalah fi Hisab
al-Jabr wa al-Muqabilah, yang versi terjemahan bahasa Inggrisnya adalah The
Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing. Melalui kitabnya
ini, al-Khawarizmi telah meletakkan dasar cabang matematika modern, yakni
Aljabar atau Algebra.
Tidak hanya itu, masih ada
ratusan ilmuwan Muslim lainnya seperti al-Farabi, al-Battani, ar-Razi, Abu Nasr
Mansur, dan sebagainya yang tercatat sebagai saintis dunia yang paling
berpengaruh (Lihat: Biography in Dictionary of Scientific Biography, New York
1970-1990).
Keberhasilan umat Islam dalam
memimpin dunia melalui kejayaan pendidikan seperti yang dipaparkan di atas
tentu tidak dapat dipisahkan dari institusi yang memayunginya saat itu, yakni
Khilafah Islam. Tidak mungkin lahir sejarah emas pendidikan dan keilmuan
sebagaimana terpapar di atas tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana yang
disediakan oleh negara Khilafah saat itu. Semua catatan emas kejayaan
pendidikan di atas semakin membuktikan bahwa kunci kejayaan umat Islam adalah
penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islam.
Sangat berbeda dengan neoliberalisme,
dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan
tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para
guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana
pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam
pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji,
hal. 12).
Mengapa demikian? Sebab
negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan,
kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu
sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam
hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung.
Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat
atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).
Dalilnya adalah As-Sunnah dan
Ijma’ Sahabat. Nabi SAW bersabda :
“Imam adalah bagaikan
penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.”(HR
Muslim).
Setelah perang Badar,
sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari
baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya
(Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).
Ijma’ Sahabat juga telah
terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah
Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat
jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul
Mal) yang berasal darijizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas
harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002;
Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber
pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1)
pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah,
khumus(seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos
kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik
umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos
zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat
mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 :
60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan
itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif
(dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya
dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh
negara dengan dana daridharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin yang
kaya (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul
Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan.Pertama,
untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan,
seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala
macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama,
perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Maka dari penjelasan yang
panjang tadi telah gambling bahwa jika kaum muslim ingin mewujudkan kembali PT
sbgmn era keemasan dulu ketika peradaban
Islam menaungi dunia maka jalan yang harus ditempuh adlah dg mewujudkan
kembali KHILAFAH Islamiyah ala minhaji nubuwwah. Karena memperbaiki sistem
pendidikan tdk mungkin bisa dilakukan tanpa ada daya dukung dari sistem
politik/pemerintahan dan ekonomi. Sistem pemerintahan krn terkait dg tata
kelola Negara, yaitu mindset negara thd pembiayaan kebutuhan rakyat, apakah
memposisikan diri sbg pelayan rakyat atau sbg pedagang thd konsumennya.
Sedangkan sistem ekonomi terkait dg pengelolaan ekonomi termasuk pengelolaan
SDA dan barang2 yang mnjd hajat hidup org banyak. Dari mana saja sumber
pembiayaan untuk operasional Negara dan memenuhi kebutuhan rakyat.
Sistem pemerintahan yang
disyariatkan dan dicontohkan Rasulullah adalah sistem khilafah bukan yang lain.
Khilafah dibutuhkan oleh umat
untuk mengurus dan melindungi umat Islam. Sebab fungsi Imam yang menjadi kepala
negara (kholifah) yang utama dalam Islam adalah ar ro’in (pengurus) dan al
junnah (pelindung) umat.
Sementara dalam sistem
demokrasi, pemimpin bukan lagi menjadi pengurus masyarakat, tapi malah pemalak
rakyat untuk kepentingan pemilik modal. Politik demokrasi menjadi mesin uang
untuk mengembalikan modal politik yang mahal atau memberikan jalan kolusi bagi
kroni-kroni elit politik untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan cara
korupsi dan kolusi . Tidak adanya Khilafah telah membuat umat Islam tidak ada
yang melindungi. Selain tanah dan kekayaan mereka dirampok, jutaan umat Islam
dibunuh oleh para penjajah. Nyawa umat Islam demikian murah tanpa ada yang
melindungi.
Lalu bagaimana cara
menegakkan kembali Khilafah yang sudah runtuh sejak tahun 1924?
Untuk dapat menjawab
bagaimana thoriqoh (metode) yang shohih/benar untuk menegakkan khilafah, maka
kita perlu membuka beberapa ayat dan Hadits sebagai berikut:
“Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah uswah hasanah bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat
Allah dan (kedatangan) hari kiyamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al
Ahzab: 21)
“Apa saja yang dibawa Rasul
untuk kalian, maka ambillah. Dan apa saja yang dilarangnya untuk kalian, maka
tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr: 7)
Sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa beramal dengan
suatu amalan yang tidak melalui perintahku, maka amalan itu tertolak”
Dari pemahaman terhadap
dalil-dalil di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa thoriqoh yang harus kita
ambil adalah thoriqoh yang mengikuti tuntunan Rasul SAW. Oleh karena itu,
penentuan thoriqoh tidak hanya didasarkan pada aspek strategi semata. Yang
paling utama tentu saja adalah adalah aspek Ridlo Allah SWT.
METODE DAKWAH RASULULLAH SAW
Metode dakwah Rasulullah SAW.
terdiri dari beberapa tahapan dakwah yang khas. Secara ringkas, tahapan dakwah
yang telah ditempuh Rasulullah SAW. tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahap Pembinaan dan
Pengkaderan (Marhalah Tatsqif wa Takwin)
Pada tahap ini, Rasulullah SAW.
membina masyarakat dengan ‘aqidah dan syariah Islam. Pembinaan ini ditujukan
agar umat Islam menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim
sehingga muncul kesadaran bahwa menegakkan syariah Islam dan Khilafah Islamiyah
merupakan kewajiban asasi bagi dirinya dan berdiam diri terhadap sistem kufur
adalah kemaksiatan. Kesadaran seperti ini akan mendorong seorang Muslim untuk
menjadikan ‘aqidah Islam sebagai pandangan hidupnya dan syariah Islam sebagai
tolok ukur perbuatannya.Tanpa kesadaran ini, Khilafah tidak akan bisa
diwujudkan di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, kesadaran seperti ini tidak
akan mendorong terjadinya perubahan jika hanya dimiliki oleh individu atau
sekelompok individu belaka. Kesadaran ini harus dijadikan sebagai “kesadaran
umum” melalui propaganda yang bersifat terus-menerus oleh sebuah gerakan
dakwah/parpol Islam ideologis.
Pada tahapan ini parpol fokus
pada pembinaan kader dakwah yang akan siap untuk melakukan pembinaan di tengah
masyarakat. Tahapan ini merupakan fase pembentukan kerangka gerakan sebagaimana
Rasul SAW juga menyiapkan sejumlah sahabat di Darul Arqom sebagai generasi awal
pengemban dakwah di Mekkah. Fase inilah yang biasa dikenal sebagai fase dakwah
sirriyah.
2. Tahap Interaksi dan Perjuangan di Tengah Umat
(Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummah)
Individu-individu muslim yang
telah terhimpun dalam partai politik Islam yang ikhlas ini harus diterjunkan di
tengah-tengah masyarakat untuk meraih kekuasaan dengan thariqoh umat. Hal itu
sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. bersama para sahabat. Setelah
dianggap cukup dalam menjalankan proses dakwah tahap pembinaan dan pengkaderan,
kelompok dakwah Rasul SAW. selanjutnya diperintahkan Allah SWT untuk berdakwah
secara terang-terangan (Lihat: QS al-Hijr [15]: 94).
Rasulullah SAW. pun bersama
para sahabat terjun di tengah masyarakat, berinteraksi secara terbuka untuk
melakukan proses penyadaran umum tentang kehidupan yang harus diatur dengan
Islam, melakukan perang pemikiran (shira’ fikri)dan melakukan perjuangan
politik (kifah-siyasi) untuk melawan penjajahan baik dalam bidang ekonomi,
sosial, politik, militer, budaya, dan sebagainya dengan mengungkap fakta dan
strategi penjajahan tersebut, membongkar persekongkolannya dengan penguasa,
serta menjelaskan hak-hak umat.
Proses akhir dakwah dari
marhalah kedua ini ditandai dengan pelaksanaan thalabun nushrah yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan
dakwah dan memperoleh kekuasaan kepada
para pemimpin qabilah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah SAW.
Puncak dari marhalah ini adalah ketika Rasulullah SAW. mendapatkan kekuasaan
dari para pemimpin qabilah dari Yastrib (Madinah) melalui Bai’atul Aqobah II.
Dengan demikian, kekuasaan
itu hakikatnya hanya bisa diraih jika umat telah rela menyerahkan kekuasaannya
kepada kelompok Islam tersebut. Perubahan muncul ketika telah terbentuk opini
umum di tengah masyarakat yang lahir dari kesadaran umum. Kesadaran umum sangat
diperlukan dalam mewujudkan perubahan mendasar yang ideologis. Melalui
kesadaran umum inilah dukungan umat terhadap perubahan tersebut dapat diraih.
Upaya mewujudkan kesadaran umum ini dilakukan dengan menjelaskan kepada umat
tentang kerusakan ideologi Kapitalisme dan Sosialisme kemudian menjelaskan
keunggulan ideologi Islam yang harus diterapkan.
Pada saat itu umat akan
mencabut dukungannya terhadap sistem kufur dan pelaksananya, lalu menyerahkan
kekuasaannya kepada kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah tersebut dengan
sukarela. Hanya saja, prosesi seperti ini harus melibatkan ahlun-nushrah,yang
tdk lain adlh pemilik kekuasaan riil di masyarakat (ahlu quwwah) yakni institusi yang secara politis memiliki
kemampuan untuk menolong dakwah, seperti institusi militer. Adanya dukungan
ahlul-quwwah ini sangatlah penting karena untuk menegakkan negara yang kuat dan
mandiri, tanpa ada intervensi dari negara yang lain, membutuhkan dukungan politik dan militer
yang kuat. Fakta menunjukkan bahwa
dukungan ahlul quwwah menjadi syarat penting karena tanpanya hasil pemilu pun
bisa dianulir dan dikudeta oleh militer.
3. Tahap Penerapan Hukum Islam (Marhalah Tathbiq
Ahkamul Islam)
Setelah proses
thalabun-nushrah berhasil, tahapan selanjutnya adalah penerapan syariah Islam
sebagai hukum dan perundang-undangan bagi masyarakat dan negara secara kaffah.
Sebagaimana Rasulullah SAW, setelah beliau mendapatkan Bai’atul Aqabah II,
beliau melanjutkan dengan hijrah ke Madinah bersama para sahabat. Di Madinah
inilah Rasulullah SAW. dapat memulai penerapan syariah Islam secara kaffah
dalam institusi negara, yakni Daulah Islamiyah. Penerapan syariah Islam ini
ditandai dengan pemberlakuan Piagam Madinah yang wajib ditaati oleh seluruh
warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Selain penerapan syariah Islam
untuk pengaturan kehidupan masyarakat di dalam negeri, Rasulullah SAW. juga
menerapkan syariah Islam untuk politik luar negerinya. Inilah tahap terakhir
dari metode penegakan syariah Islam yang dapat diteladani dari perjalanan
dakwah Rasulullah SAW. Setelah perjuangan kelompok Islam memperoleh kekuasaan
dari ahlun-nushrah, pemimpin dari kelompok Islam tersebut akan dibaiat untuk
menjadi khalifah, dengan tugas menerapkan Islam secara kaffah, baik untuk pengaturan
kehidupan di dalam negeri maupun urusan luar negerinya.
Mewujudkan khilafah memang
bukan hal yang mudah tapi bukan hal yang tdk mungkin/utopia. Sulit tapi bisa
insyaAllah karena itu merupakan janji Allah dan RasulNya. Untuk tugas besar ini
maka seluruh kaum muslim, berbagai komunitas harus mengarahkan perjuangannya ke
arah penerapan Islam secara kaafah melalui institusi khilafah. Termasuk para
aktivis mahasiswa juga harus terlibat dalam kerja besar ini, terlibat aktif
berjuang menegakkan kembali institusi pelindung rain dan junnah umat. Cara yang
bisa dilakukan pertama mengkaji Islam kaafah dan berikutnya mendakwahkannya ke
tengah umat sehingga mereka semua sadar dan bersama-sama menuntut penerapan
sistem Islam dalam semua aspek kehidupan.
0 komentar:
Post a Comment